WHY I HATE INSTAGRAM


-         To be Unknown is beautiful things



Berbicara negatif tentang aplikasi yang saat ini jadi ujung tombak sosial media dunia kadang terkesan aneh. Instagram, disaat semua orang mencintai segala fitur yang ditawarkan didalamnya, tentu saja karena semua fitur yang disediakan membuat individu semakin puas akan eksistensinya di ruang “semu”.


"Aku benci Instagram. Sekali lagi “Aku benci”
Jika bukan karena aku jobseeker yang membutuhkan lowongan korporat aku akan serta merta melenyapkan dan memboikot aplikasi ini
"

 


Awalnya sekilas memang Instagram sangat informatif dalam menyampaikan isu, krisis serta fenomena – fenomena yang sedang terjadi dunia.Ya, kau bisa lihat apa saja hal yang memang sedang hangat terjadi, vandalisme alam, degradasi moral manusia, demokrasi punah yang terjadi di seluruh belahan dunia. ATAU kau juga bisa mendapatkan banyak hiburan dengan melihat tayangan-tayangan favoritmu. Artis, lagu, film hingga jokes receh yang sedang ramai dipromosikan oleh orang – orang yang entah; mengapa mereka rela menjadi bodoh untuk mereceh dan terkenal di ruang “semu”.

Agaknya kalimat di paragraf terakhir berkonotasi negatif, ya memang begitulah artinya. Kenyataannya instagram memiliki banyak fungsi informatif namun juga diimbangi dengan fungsi eksistensi semu.
Awalnya aku menilai bahwa manusia pada dasarnya memang butuh eksistensi, that’s why aku memaklumi kebutuhan orang untuk mengupload atau mengshare kesehariannya di story instagram. 

Lagipula karena itu adalah hak mereka sebagai pemilik akun instagram dan tentu saja karena mereka berhak melakukan apapun yang mereka inginkan termasuk membagikan aktivitas mereka kira-kira 10 hingga 15 aktivitas dalam satu hari ? dan aku sebagai pemilik instagram juga berhak untuk memilah-milah aktivitas siapakah yang akan kulihat. Jika memang tidak suka melihat story individu orang yang bersangkutan, kenapa tidak di hide atau di unfollow saja ? (begitu kan pikirnya pada semua orang, I mean kalo lu gak suka kenapa ga langsung di hide aja, ribut amat pada ngomenin, kebiasaan nyinyir).
Ya kau boleh saja berpendapat seperti itu karena memang itu hakmu, tapi bagiku aku perlu meninjau ulang bahwa kebiasaan buruk seperti membagikan aktivitas terlalu berlebihan pada dunia maya bukanlah sebuah prestasi yang membahagiakan. Bagiku, “untuk apa” semua itu dilakukan ? apa yang sebenarnya ingin kau taklukan dari pertunjukan pengenalan kepribadianmu pada dunia yang terus menerus ini? Bahkan pertunjukan sirkus pun hanya berlangsung sekali dalam seminggu. Sedangkan dirimu, terus-terusan berusaha membuat dunia yang sebenarnya “semu” terkesan pada aktvitas yang sebenarnya itu juga “kau buat – buat”.

Ya, kau buat- buat. Mengapa kau buat-buat?. Haha, kau tahu sendiri lah jawabannya, karena tidak ada satupun orang yang ingin terlihat tidak berdaya, lemah, palsu, di hadapan masyarakat, persis seperti aktvitas story instagram, setiap orang hanya akan membagikan momen “kebahagiaan” yang diciptakannya sendiri dan yang terlihat “bahagia”.

Begitulah dasar karakter manusia milenial.
Di dunia yang sekarang informasi tidak penting terlalu banyak menyebar dan menutup celah yang seharusnya memang lebih baik dibiarkan terbuka. Di dunia yang sekarang individu berfikir bahwa tidak “eksis” berarti “mati”, yang tidak “upload” berarti “menghilang” yang tidak punya “followers banyak” berarti “cupu”, aku menantang dalam diriku sendiri dan bersumpah dalam hati, aku tidak akan menjadi seperti kalian.

Aku sangat menghargai privasi, dan orang lupa bahwa privasi adalah kekuatan. Orang lupa bahwa confidence is silence and insecurities are loud. Tidak semua yang diam berarti lemah. Lagipula di dunia nyata lau tidak bisa memphotoshop personality.

I value privacy, karena itulah aku sangat menghargi orang yang lebih banyak diam di sosial media, aku berpikir mereka itulah “The Realest People”. Karena not every part of your private life needs to be public”. Apakah rasa kecanduanmu akan eksistensi mengalahkan rasa malumu?. I think privacy is life ya.
And be mysterious, karena semakin banyaknya orang yang menjelaskan dirinya bla bla bla saat ini aku justru berfikir senbaliknya “How cool someone that still stay mysterious?”. Hal ini saangat berlaku bagi kaum adam. Penting menurutku untuk menjaga low profile but working hard in real life. Kadang orang yang paling suka ngebacot di instagram hidupnya paling ga jelas, haha (this is sarcasm, I knew humm I’am sorry).

Sampai disini pada dasarnya aku sudah terlanjur muak dengan setiap kesan yang ditunjukkan masing – masing orang di setiap aktivitas story. Akhirnya aku mulai berpikir untuk meninggalkan Instagram karena seriously aku muak.

Aku muak karena harus terus-terusan melihat aktivitas story yang entah tidak tahu terus bergulis saja begitu ya di feed berandaku. Aku bosan karena apa pentingnya sebenarnya hidupmu bagiku melalui foto foto selfie yang kau tunjukkan. Aku tidak mengerti apa gunanya untukmu memberi tahu pada dunia bahwa kau sedih, kau benci orang ini, ini, bahwa kau bla bla. Seluruh pertanyaan ini menuntunku pada kenyataan bahwa mereka tidak seloud  ini jika berada di dunia nyata.

Aku merasa hal ini sangat tidak bermanfaat dan akhirnya aku memutuskan untuk menutup aku instagramku. Sebuah pencapaian menurutku.

Karena aku tahu setiap orang punya hak untuk membagikan apa saja yang mereka inginkan, dan itu bukan salahnya. Kau berhak atas segala sesuatu yang telah diberikan oleh Instagram. Lalu kau juga bisa menyalahkanku untuk berhenti saja mengikutiku. Hmm nyatanya menjalin silaturaahmi itu lebih penting dan mencoba untu membuat koneksi dengan teman jauh di instagram juga hal yang penting, that’s why aku tidak memlih untuk mengunfollow karena pikirku you are still my friend, but hey let’s talk in the real life ok ? let’s make our conversation alive in some place ?.


Aku lebih menghargai komunikasi dengan tatap mata, bertemu dan bercengkrama, berdiskusi. Melakukan hal – hal wajar yang dilakukan oleh banyak orang zaman dahulu di lingkaran pertemanan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sistem Komunikasi Bisnis Gojek

Publik dan Stakeholder

Studi kasus disonasi masyarakat terhadap fenomena bentrok Gojek dengan Transportasi konvensional