Manajemen Krisis : Pembubaran BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo)
Manajemen Krisis : Pembubaran BPLS
(Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo)
Pendahuluan
Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh manajemen perusahaan adalah
situasi krisis yang tiba – tiba muncul dalam perusahaan. Pembubaran BPLS pada 15 Maret lalu menjadi perhatian
publik terkait krisis yang selama ini menimpa perusahaan tersebut. Masyarakat
Sidoarjo yang terkena dampak lapindo menuntut gantii rugi baik saat masih
berdiriya BPLS maupun setelah keluarnya pengumuman pembubarannya. Isu pembubaran BPLS kembai menjadi pusat perhatian masyarakat, khussnya
masyarakat yang dirugikan oleh luapan lumpur lapindo.
Kurangnya persiapan
perusahaan di dalam menghadapi kasus krisis seperti yang dikemukakan di atas
menyebabkan munculnya resiko yang tidak terduga - duga, sehingga setiap
perusahaan dianjurkan mempunyai ‘program manajemen krisis’(crisis management
plan), Sayangnya, masih banyak perusahaan yang mengabaikan masalah krisis
ini. Krisis adalah situasi yang merupakan titik balik
(turning point) yang dapat membuat sesuatu tambah baik atau tambah buruk. Saat
perusahaan menghadapai krisis, maka perusahaan dituntut untuk melakukan
perubahan fundamental dalam manajemen perusahaan, maka dari itu perusahaan
perlu membuat strategi pencegahan krisis. Tujuannya tak lain adalah adalah mengubah citra perusahaan itu sendiri,
selain itu perusahaan dapat membentuk citra baru berrdasarkan crisis
plan yang telah mereka susun, menangani krisis juga membuktkan
perusahaaan ingin menjaga kepercayaan publik.
Di lain pihak
Perusahaan akan mendapatkan manfaat yaitu memperoleh reputasinya kembali,
meskipun perusahaan akan mengalami masa transisi yang berat, dan tentunya menguji
komitmen serta tanggungjawab seluruh awak perusahaan. Krisis juga sebagai
evaluasi kinerja perusahaan seebagai tanggungjawab sosial terhadap publik.
Dalam studi kasus Arla Food, perusahaan berhasil melewati critical
stage, dan berhasil mendapat kepercayaan publik pada tahap
resolusi.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka perusahaan dapat mengidentifikasi isu
awal yang berkembang pada publik, Kriyantono (2015, h. 165-170) memberikan
beberapa tahapan untuk mengidentifikasi suatu isu, keempat tahap itu yakni : Origin Stage, Mediation and
Amplifications Stage, Organization
Stage, dan Resolution Stage. Sejalan dengan itu, Steven Fink dalam Kasali
(2003, h. 225) menyatakan bahwa ada empat tahapan krisis. Tahap prodomal, tahap akut, tahap kronik, dan tahap resolusi. Jenis - Jenis tahapan diatas dapat digunakan dalam
mengidentifikasi Isu potensial yang berkembang baik di dalam atau diluar
perusahaan,
Deskripsi Kasus
BPLS ditunjuk pemerintah untuk
mengurusi pembayaran ganti rugi korban serta fasilitas umum dan fasilitas
sosial di luar peta area terdampak (PAT) yang menjadi tanggung jawab
pemerintah. Untuk pembayaran ganti rugi korban di dalam PAT dari dana talangan
pemerintah, BPLS berkoordinasi dengan PT Minarak Lapindo Jaya.
Dilansir dati Tempo (2017), hingga kini, terdapat 213 berkas fasum-fasos dalam 66 rukun tetangga yang berada di luar PAT. Selain itu, masih ada 84 berkas korban yang berada di dalam PAT yang belum dibayar. Penyebabnya, masih ada masalah waris dan status tanah basah-tanah kering serta masalah kelengkapan administrasi.
Dilansir dati Tempo (2017), hingga kini, terdapat 213 berkas fasum-fasos dalam 66 rukun tetangga yang berada di luar PAT. Selain itu, masih ada 84 berkas korban yang berada di dalam PAT yang belum dibayar. Penyebabnya, masih ada masalah waris dan status tanah basah-tanah kering serta masalah kelengkapan administrasi.
Pada 2 Maret 2017, Presiden Joko
Widodo meneken Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2017 untuk membubarkan BPLS.
Tugas lembaga nonstruktural tersebut akan diambil alih Direktorat Jenderal
Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan berganti nama menjadi Pusat
Penanggulangan Lumpur
Meskipun begitu, Sekretaris Jenderal
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Anita Firmanti Eko
Susetyowati menegaskan, pembubaran Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS)
tidak akan mempengaruhi proses ganti rugi kepada korban lumpur. Menurut dia,
tugas BPLS akan diambil alih Kementerian Pekerjaan Umum.
Dilansir dari Harianbhirawa
(2017), salah satu pengusaha furniture, Jhoni Osaka mengaku sangat kecewa
dengan pembubaran Perpres 21 tahun 2017 tentang Pembubaran BPLS per tanggal 2
Maret 2017. Ia mengaku kalau keputusan itu merupakan keputusan politik bukan
keputusan yang berdasarkan rasa keadilan. ”Karena belum mendapatkan ganti
rugi apa-apa, kalau sudah seperti ini kita harus mengadu kepada siapa,” keluh
Jhoni saat ditemui, Selasa (14/3) kemarin. Ia sangat kecewa khususnya
dalam pasal V (a), yang mana ganti rugi dialihkan kepada pihak Lapindo, tetapi
tidak ada jangka waktu sampai kapan harus terbayarkan. ”Bagimana kalau pihak
Lapindo mau membayar 100 tahun lagi. Mestinya keputusan itu harus ada batas
waktunya, kita ini sudah menjadi korban selama 11 tahun, hingga kini belum juga
mendapatkan ganti apa-apa.
Analisis Kasus
Kriyantono (2015, h.
165-170) memberikan beberapa tahapan untuk mengidentifikasi suatu isu, keempat
tahap itu yakni : Origin Stage, Mediation and Amplifications Stage, Organization
Stage, dan Resolution Stage. Dalam kacamata teoritis, Peristiwa tersebut dapat
dijelaskan dalam tahap :
-
Tahap
Resolution / Dorman Stage
Sebelumnya krisis Lapindo telah dimulai
beberapa tahun yang lalu, krisis tersebut telah mencapai puncaknya saat
masyarakat sidoarjo menuntut perusahaan dan pemerintah untuk ganti rugi, isu
tidak bertanggungjawabnya lapindo menyebar, masyarakat menilai BPLS belum
sepenuhya memberikan ganti rufi terhadap korban. Dalam tahap ini, BPLS telah
melewati tahapan critical stage dan
telah sampai pada tahap resolusi yaitu, pemerintah telah membuat kebijakan yang
akan berdampak pada fungsi organisasi. Pemerintah mengeluarkan pengumuman
pembubaran pada BPLS yang proses itu berdampak pada perusahaan dan publiknya.
-
Isu berpotensi memunculkan
isu baru
Masyarakat kembali beragumen tentang
pembubaran BPLS, Masyarakat mulai beropini yang dimuat di media, bahwa banyak
dari korban yang merasa dirugika atas pembubaran BPLS, seperti yang diungkapkan oleh salah satu pengusaha furniture, Jhoni Osaka, ia
menyayangkan perilaku pemerintah membubarkan BPLS, yang dalam hal ini membuat
masyarakat merasa tidak pasti akan ganti rugi yang mereka terima.
Daftar Pustaka :
Kriyantono,
R. (2015). Public Relation,
Issue & Crisis Management. Jakarta:
Kencana
Komentar
Posting Komentar